Menilik Budidaya Udang Vaname di Kolam Terpal
udidaya udang bukan hal baru sebenarnya di Sumatera Utara (Sumut). Jika merujuk ke belakang, budidaya udang tiger atau windu sudah "memakan" waktu yang lama dan menjadikannya sebagai primadona di kalangan pembudidaya udang di Tanah Air. Tapi oleh waktu juga, udang tiger mulai kurang greget karena budidayanya dinilai lebih sulit dibandingkan jenis udang lainnya.
Memang budidaya udang tiger masih ada, tapi dengan jumlah yang terus menciut. Karena sebagian besar petani yang menggeluti tambak udang, kini beralih ke budidaya udang vaname. Bahkan budidaya dilakukan di kolam terpal (bukan kolam tanah).
Budidaya ini sebenarnya tak terbilang baru di Indonesia. Karena di Pulau Jawa sudah dilakukan sejak tahun 2000 yang lalu.
Penggunaan terpal di kolam tambak sangat dipengaruhi oleh kondisi air yang tak lagi mendukung perkembangan udang karena terjadi degradasi (penurunan) kualitas air. Itu sebabnya, air harus dimanipulasi dengan membuat alas terpal.
Ternyata, hasilnya lebih baik dan udang tumbuh dengan sempurna. Karena dengan menggunakan terpal, logam-logam berat dan bakteri tidak akan berkembang biak.
Pola budidaya ini pun kemudian dipraktikkan pemilik tambak udang di Sumut pada tahun 2010. Saat itu pun masih sekadarnya saja alias coba-coba dan tentu saja dengan jumlah yang kecil.
Pada medio itu, memang sebagian besar tambak udang masih di kolam tanah. Padahal jika menyoal nilai investasi, jauh lebih mahal dibandingkan di kolam terpal. Mungkin inilah yang membuat petani tambak banyak yang kemudian beralih ke kolam terpal.
Salah satunya Fahrizal (37), warga Desa Sialang Buah Dusun II, Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai.
Menurutnya, budidaya udang vaname di kolam terpal tentu saja menarik karena nilai bisnisnya. Udang memang menjadi salah satu komoditas andalan ekspor Sumut. Lebih menggiurkan lagi, permintaannya terus meroket sehingga produksinya pun kadang tidak bisa mencukupi sesuai dengan order pasar.
Bukankah ini menjadi kabar gembira bagi pembudidaya udang vaname? Tentu saja sangat menggembirakan, dan tambak kolam tanah mungkin saja tinggal cerita.
Seperti dituturkan Fahrizal, awalnya dia juga hanya coba-coba karena melihat satu orang pemilik tambak udang vaname di desanya mulai beralih ke kolam terpal. Itu sekitar dua tahun yang lalu.
Dengan mengandalkan kolam berukuran 5x15 meter per segi dan dua kolam lainnya berukuran 8x20 meter per segi yang sebelumnya digunakan untuk pembibitan lele, budidaya udang vaname pun dimulainya.
Karena fokusnya memang untuk budidaya saja, maka bibit tidak dibuat sendiri tapi dibeli dari pabrik yang saat ini harganya berkisar Rp 41 per ekor (PL 10).
Setelah jalan dua tahun, kolam terpal yang dikelolanya hanya dua tapi dengan ukuran 17 x 28 meter per segi dan 16 x 23 meter per segi. Dari kedua kolam itu, dengan siklus panen sebanyak empat kali dalam setahun, produksi udang vaname yang bisa diperolehnya mencapai 13,6 ton.
Karena dalam satu siklus (tiga bulan), panen bisa lima hingga enam kali dengan kisaran produksi sebanyak 3,4 ton.
�Sungguh menggiurkan tentunya. Itu sebabnya, budidaya udang vaname di kolam terpal ini kian diminati masyarakat,� kata Fahrizal dalam obrolannya dengan MedanBisnis, pekan lalu.
Jika menyoal cara budidayanya, menurut Fahrizal, juga tidaklah sulit. Dimulai dari pembuatan kolam sesuai dengan ukuran yang diinginkan atau pun tanah yang tersedia.
�Kebanyakan saat ini kolam dibuat lebih kecil karena dinilai lebih mudah untuk mengelolanya. Kalau dulu-dulu, kolam tanah untuk budidaya udang bisa berukuran 2.000 meter hingga 4.000 meter per segi,� jelasnya.
Dikatakannya, setelah kolam selesai, selanjutnya persiapan air dan pemasangan kincir dilakukan. Air bersumber dari sumur bor. Sedangkan soal kincir, jumlahnya biasanya tergantung padat tebar benur (bibit) udang.
Kemudian pada kolam yang sudah terisi air dan terpasang kincir, benur akan ditebarkan. Hingga tiba masa panen, yang perlu dilakukan hanya menjaga kondisi air, memperhatikan suhu, dan tentu saja pemberian pakan.
�Panen sudah bisa dilakukan setelah 60 hari dengan pengurangan sekitar 25 persen. Artinya, panennya berkisar 25 persen dari total benur yang ditebarkan,� ujar Fahrizal.
Fahrizal sendiri menebarkan benur sekitar 300-400 ekor per satu kolam. Jadi panen perdananya bisa sebanyak 75-100 ekor. Sementara panen raya-nya adalah pada hari ke-90-100 dengan produksi yang bisa mendapatkan panen terbaik, ukuran 22 ekor per kg atau sekitar 45,45 gram per ekor-nya.
Angka kehidupan udang vaname menurut dia, untuk sekali tebar juga tinggi yakni sekitar 85-90%. Jauh di atas persentase idealnya di level 60%.
�Jadi dengan angka kehidupan 85-90 persen, sudah bisa dikira-kira berapa rupiah yang bisa dijaring dari budidaya udang vaname di kolam terpal ini. Apalagi harga jualnya pun termasuk stabil di kisaran Rp 50.000 per kg untuk size 100 (100 ekor per kg) dan jarang sekali berfluktuasi,� terangnya.
Fahrizal yang meraih gelar sarjana perikanan dari Universitas Dharmawangsa Medan ini memberikan gambaran, berapa nilai investasi budidaya udang vaname di kolam terpal. Ya, memang jauh di bawah budidaya di kolam tanah.
Dari pengalaman Fahrizal, modal yang dibutuhkan untuk kolam seperti yang dimilikinya dengan ukuran 17x28 meter dan 16x23 meter per segi, hanya berkisar Rp 50 juta hingga Rp 60 juta. Itu sudah dihitung mulai dari pembuatan kolam hingga panen.
Juga sudah termasuk biaya pembelian pakan (pellet) yang kebutuhannya sebanyak 4,2 ton untuk satu siklus. Harganya saat ini sekitar Rp 17.200 per kg.
"Tentu jika ukuran kolamnya lebih luas, modalnya juga akan lebih besar. Tapi jika dibandingkan dengan budidaya di kolam tanah, jauh lebih hemat memang dengan budidaya di kolam terpal," aku Fahrizal.
Modal yang timpang antara kolam terpal dan kolam tanah juga karena kolam terpal hanya membutuhkan terpal yang umumnya digunakan adalah kualitas A5. Terpal ini pun bisa digunakan untuk satu tahun atau empat siklus.
Sementara kolam tanah yang rentan terserang hama dan penyakit butuh pestisida. Selain itu juga butuh biaya untuk pengapuran dan garam untuk pengasinan.
"Untuk kolam terpal itu semua tidak dibutuhkan. Bahkan hama dan penyakit pun sejauh ini belum ada yang menyerang udang vaname di kolam terpal," tutur Fahrizal.
Dari sisi waktu, budidaya di kolam terpal juga lebih cepat. Persiapan untuk siklus berikutnya hanya butuh waktu sepuluh hari. Mulai dari pengangkatan dan pencucian terpal, pengisian air, pemasangan kincir hingga kolam siap untuk ditebarkan benur (bibit).
Sedangkan kolam tanah butuh waktu sedikitnya satu hingga dua bulan. Karena prosesnya memakan waktu yang panjang seperti pembersihan lumpur dan pengeringan kolam yang bisa sampai satu bulan.
Jika melihat grafik permintaan dari agen-agen yang langsung "menjemput" udang vaname ke kolam, maka bisa dibayangkan betapa cerahnya masa depan usaha ini. Bahkan meski produksinya banyak, selalu bisa terserap pasar. Karena itu, rupiah akan terus mengalir dan masuk kantong pemilik kolam. (elvidaris simamora)
Tidak ada komentar